Her Dream His Hello #3

Dia suka memanggil dengan panggilan tak biasa. Dia selalu memanggil orang dengan satu suku kata terakhir dari nama panggilan mereka. Bagi sebagian orang, itu biasa. Tapi untukku, rasanya spesial dipanggil begitu, sungguhan, aku suka sekali.

Ketika seseorang tahu nama kita, maka secara tidak langsung orang itu melibatkan diri dalam benang merah kehidupan kita. Nama adalah gerbang awal lanjutan cerita antara aku dan dia. Bukan sesuatu yang akan berakhir romantis, tapi setidaknya itu tetaplah sebuah cerita.

Lalu, saat ia menyapa dengan panggilan yang tiada duanya, ia sukses membuatku selalu menoleh, rasanya ada yang menarik dalam tiap intonasi. Seperti aroma mie instan di sore hari yang berhias rintik hujan. 

Candu.

“Fi,” 

Ah, suara itu lagi. Tak banyak yang memanggilku begini. Bagaimana mungkin aku jadi acuh tak acuh menanggapi?

“Ya?” Jawabku sembari tersenyum setulus mungkin. Kata seorang teman, terkadang malah terlihat bodoh.

Ia memegang beberapa bundel majalah lama. Sedikit sisi pikiranku yang masih logis meneriakkan anjuran agar menolak segala yang akan ia minta untuk kukerjakan. Sayangnya, sedikit bagian dari pikiran waras itu terlalu kecil untuk terdengar dan dipertimbangkan.

“Buatin ringkasan dari kolom opini di setiap majalah ini, ya.” Kalimat final tanpa intonasi bertanya apakah aku bersedia membantu atau tidak. Jangankan diulurkan dari tangan ke tangan, ternyata majalah itu langsung tegeletak manis bertumpuk di meja.

“Semua?” Aku mengerjap. Mencoba mengembalikan logika.

Ia mengangguk. Menampilkan wajah sendu sambil berkata, “Tolong ya, Fi. Aku lelah banget kalo ngerjain ini juga.”

Logika itu hampir sampai tapi langsung buyar demi memahami dengan polosnya kalimat itu. Serta mendadak bahagia dipanggil dengan ujung nama lagi.

Ah, ternyata dia sedang lelah. I’ll help you, bro!

Aku mengangguk menyanggupi.

Tanpa basa basi, ia langsung mengalihkan atensinya ke meja sebelah. Tempat siswi yang baru saja pindah ke kelas kami hari ini.

“Oh iya, Ara, gimana belajarnya? Lancar?”

“Ara?”

Ia menoleh mendengarku heran. “Namanya Naura ‘kan?”

“Iya.”

“Nah, itu panggilanku untuk Naura di sini.”
Aku tersenyum kecut bersamaan dengan pikiran yang kembali berjalan dengan seharusnya.

Ternyata semua tidak se-spesial itu.

Leave a comment