Patah Hati Paling Sakit

Pada usia 26 tahun aku belajar, ada patah hati yang lebih mengecewakan dari cinta yang tidak berbalas. Yaitu ketika kau menyadari kalau trauma masa lalu yang selama ini kau kecam, tinggalkan, dan anggap sudah selesai ternyata mewujud makin nyata dan solid. Menjadi bagian dari dirimu sendiri.

Aku rasanya selalu ingin berkata, tidak apa-apa. Sebagai penghiburan diri dan mencoba percaya bahwa semua ini akan selesai pada waktunya. Tidak apa-apa. Gwenchana. It’s alright.

Bagai mantra yang dibisikkan setiap kali rasa panik muncul.

Ya, tidak apa-apa untuk merasa sedih. Bahkan untuk banyak alasan yang tidak dapat dipahami orang lain dan untuk waktu yang akan habis entah berapa lama sampai aku sungguh menyelesaikan dan memaafkan semuanya.

Kemarin bukan retak. Tetapi rusak sudah.

Saat kesadaran itu muncul. Bahwa ternyata aku belum kemana-mana. Luka itu masih di sana, belum sembuh benar rupanya, malah karena itu aku membuat luka lain di hati orang lain. Tanpa sadar aku menjadi bentuk yang selama ini kubenci. Sosok itu muncul dalam bentuk bayangan yang aku kendalikan. Bayangan gelap itu adalah aku. Bukan lagi dia, melainkan aku yang melakukannya.

Hancur.

Bukan lagi menampar tetapi membuat terhenyak, kenapa aku menjadi seperti itu? Seperti yang selama ini enggan kulihat dan kudengar. Bagaimana bisa aku begitu? Tidakkah aku benar-benar melupakan dan memaafkannya?

Segudang pertanyaan retoris menyerbu realita yang saat itu aku diami.

Tanpa kata sebab bingung adanya, aku merasa patah. Patah yang paling hancur. Sampai tidak ada emosi yang bisa menggambarkan hari itu. Hari dimana aku segelap bayangannya.

Satu suara berbisik,

Tidak apa-apa…

Lalu, menangis. Lagi.

Leave a comment